Korea Utara adalah salah satu negara yang paling sulit ditembus di dunia. Upaya menerobos batas negara itu -baik keluar maupun masuk- kerap berujung penjara. Setidaknya dua mantan presiden AS bisa masuk Pyongyang lewat jalur diplomasi.
---
MANTAN Presiden Jimmy Carter kembali mengukir prestasi dalam hubungan Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut). Jumat lalu (27/8) tokoh 85 tahun itu sukses mendesak pemerintahan Kim Jong-il memberikan amnesti kepada Aijalon Mahli Gomes. "Jimmy Carter meminta maaf kepada Kim Yong Nam (orang nomor dua Korut) atas penerobosan yang dilakukan Gomes. Dia juga berani menjamin bahwa tindakan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi," jelas Korean Central News Agency (KCNA), mengutip pernyataan pejabat Pyongyang.
Begitu mendapat ampunan, Carter langsung mengajak Gomes bertolak kembali ke Negeri Paman Sam dengan pesawat pribadi yang sengaja dia sewa. Itu persis dengan alur yang dijalani mantan Presiden Bill Clinton pada 4 Agustus 2009. Mengusung misi kemanusiaan dalam lawatan pribadinya, pria 64 tahun tersebut menemui para pemimpin negeri komunis di Semenanjung Korea itu.
Kala itu mantan presiden AS dari Partai Demokrat tersebut sukses membebaskan dua jurnalis AS yang ditangkap karena menerobos perbatasan tanpa izin. Yakni, Laura Ling dan Euna Lee. Sama dengan yang terjadi Jumat pagi waktu setempat pada Carter dan Gomes, dua perempuan berdarah Korea itu pun bertolak ke AS bersama Clinton dengan pesawat sewaan.
***
Sama halnya dengan Clinton, dalam lawatan tiga harinya, Carter juga digiring untuk membahas nuklir. Apalagi, dia bertemu langsung dengan Kim Yong Nam. Konon, dalam pertemuan Kamis lalu (26/8), tangan kanan Kim Jong-Il tersebut berpesan kepada Carter agar menyampaikan "niat baik" Pyongyang soal perundingan nuklir ke Washington. "Kami siap melanjutkan perundingan dan membahas perlucutan nuklir di Semenanjung Korea," ujarnya sebagaimana dikutip KCNA.
Perundingan enam negara tentang nuklir Korut beku sejak April tahun lalu. Gara-garanya, negeri Kim Jong-il itu nekat meledakkan senjata nuklir dan mengujitembakkan sejumlah rudal. Aksi provokatif tersebut berbuntut kecaman dari masyarakat internasional dan ancaman sanksi AS. Saat itu Korut mengancam bakal menarik diri dari perundingan enam negara.
Tapi, Kim Jong-il dan jajaran pemerintahannya berubah pikiran. Bulan lalu Pyongyang menegaskan lagi niatnya untuk melanjutkan perundingan nuklir enam negara. Kali ini perubahan sikap Korut ditanggapi dingin Korsel dan AS. Korut berusaha mendekati sekutu dekatnya, Tiongkok, yang juga terlibat dalam perundingan enam negara tersebut. Hingga kemarin (28/8), Kim Jong-il dikabarkan masih berada di Beijing.
Kamis lalu, di hadapan Kim Yong Nam dan juru runding nuklir Korut Kim Gye Gwan, Carter berjanji menyampaikan keinginan tersebut kepada pemerintahan Presiden Barack Obama. "Saya pribadi dan partai saya (Demokrat) jelas mendukung diskusi nuklir AS dan Korut," tuturnya sebagaimana dilansir Associated Press. Namun, karena lawatan tiga harinya itu bersifat pribadi, Carter tidak bisa menjanjikan banyak hal kepada Korut terkait dengan nuklir negeri tersebut.
"Tak ada ruginya mengambil langkah besar. Termasuk, mengawali perundingan tak terbatas. Inisiatifnya harus datang dari AS dan Korsel," papar Carter dalam sebuah pidato di Seoul pada Maret lalu. Sikap itu kembali ditegaskan di hadapan para pemimpin Korut Jumat lalu. Tapi, dia jelas akan kesulitan menyampaikan sikapnya itu kepada Obama dan jajaran pemerintahannya. Apalagi, hubungan Washington dan Pyongyang kembali panas setelah insiden tenggelamnya kapal Cheonan milik Korsel.
Tak dimungkiri, kunjungan kedua Carter ke Pyongyang kali ini membangkitkan banyak harapan. Terutama, dalam normalisasi hubungan Korut-AS yang panas-dingin sejak berakhirnya Perang Dingin. Apalagi, politikus senior itu pernah sukses meredam ketegangan Korut-AS pada 1994. Bedanya, saat itu dia menjadi kepanjangan tangan pemerintahan mantan Presiden Bill Clinton. Diam-diam, Carter ditugasi menemui Presiden Korut Kim Il-sung dan mendinginkan amarah Korut yang dipicu masalah nuklir.
Ketika itu, Kim Il-sung mengancam bakal mengusir para pengawas nuklir dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Itu terjadi setelah AS mengutarakan kekhawatirannya bahwa Korut akan memproduksi senjata atom lewat program nuklirnya. AS pun menyiagakan sejumlah pasukan di perbatasan Korea Selatan (Korsel) dan siap berperang dengan Korut. Untung, dalam dialognya dengan Kim Il-sung, Carter berhasil memenangi dukungan untuk berdamai. AS dan Korut lantas meneken kesepakatan Agreed Framework pada tahun yang sama.
***
Bradley Martin, jurnalis senior harian Boston Globe, menanggapi keberhasilan misi kemanusiaan pribadi Carter dan Clinton itu dengan skeptis. "Ini hanyalah siklus. Seperti perubahan musim. Saat Korut bertindak kelewat batas, AS mengetatkan sanksi. Perdebatan bergulir, mulai sanksi sampai tindakan militer. Tapi, akhirnya AS lebih memilih jalur diplomasi yang berujung pada kesepakatan. Korut pun menyambut baik dan menitipkan sejumlah persyaratan dalam kesepakatan tersebut," jelasnya sebagaimana dilansir surat kabar terbitan Boston itu Jumat lalu (27/8).
Pada dasarnya, lanjut Martin, Korut sulit berubah. Mereka hanya bersiasat dengan AS untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Salah satunya, menukar tawanan asal AS dengan jaminan soal nuklir. Pyongyang berharap, lewat perundingan, mereka bisa berargumen untuk memenangi dukungan masyarakat internasional terkait dengan nuklir. Sejauh ini, hanya Tiongkok yang mendukung alur perundingan nuklir Korut.
Sikap skeptis seperti Martin juga ditunjukkan Bruce Klingner. "Pasca kunjungan Clinton (pada 2009), media meramalkan bahwa kebekuan dua negara akan mencair. Setidaknya mengurangi ketegangan seputar nuklir. Tapi, apa yang terjadi? Sama sekali tidak ada yang berubah dari Korut," ungkap pakar Asia tersebut kepada Heritage Foundation di Washington sebagaimana dilansir The Christian Science Monitor Jumat lalu. Menurut dia, lawatan Carter dan misi kemanusiaannya kali ini pun akan berakhir sama. (hep/c7/dos)
0 komentar:
Posting Komentar